DAERAH  

Utamakan Rumdis Kejari, Pemkot Abaikan Warga di Tiga Pulau Terluar

Kantor Wali Kota Ternate. (Istimewa)

PENAMALUT.COM, TERNATE – Pembangunan rumah dinas dan mes pegawai kejaksaan senilai Rp5,8 miliar mendapat sorotan tajam dari akademisi Universitas Khairun Ternate, Muammil Sun’an.

Pasalnya, Pemkot Ternate dinilai tidak konsisten dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang termuat dalam beberapa program prioritas. Salah satunya program peduli Kecamatan Batang Dua, Hiri dan Moti (Bahim).

Padahal, kata Muammil, tiga kecamatan terluar masih sangat membutuhkan kebutuhan dasar seperti pelabuhan, air bersih dan listrik. Karena itu, ia mempertanyakan urgensi dan keinginan Pemkot membangunan fasilitas dengan anggaran yang terbilang besar itu.

“Anggaran Rp5,8 miliar yang begitu besar tentu bukan sekadar dilihat nilainya, tetapi manfaatnya. Untuk itu, dengan membangun rumah dinas kejaksaan ini sebenarnya apa yang menjadi keinginan pemerintah kota,” ujar Muammil, Selasa (18/7).

“Orang-orang juga banyak bertanya-tanya tujuannya apa? Sementara masalah kota sendiri masih banyak sekali dan bahkan belum ada yang nampak bagi masyarakat Kota Ternate sendiri. Apalagi Moti, Hiri dan Batang Dua yang sampai sekarang masih ribut-ribut soal pembangunan,” sambungnya.

Menurutnya, Pemkot Ternate terkesan menganaktirikan tiga kecamatan terluar. Sebab, anggaran yang begitu terbatas, seharusnya pembangunan yang dilakukan lebih mengarah pada 14 program prioritas yang sudah tertuang dalam RPJMD.

“Tiga kecamatan terluar bisa dikatakan ketimpangan pembangunan yang sangat mencolok sekali dibanding Ternate di dalam sini, makanya pemerintah kota harusnya lebih fokus anggarannya ke situ. Belum lagi masalah-masalah yang urgen di Ternate sendiri seperti produksi sampah dan penanganan air bersih. Itu membutuhkan keseriusan pemerintah yang lebih besar dengan melihat kemampuan keuangan daerah,” tuturnya.

Muammil menilai, dalam dua tahun ini Pemkot tidak fokus pada kegiatan yang sudah menjadi program kerja dalam RPJMD dan RKPD, sehingga DPRD selaku lembaga pengawasan diharapkan menolak usulan pemerintah kota apabila dalam penggunaan anggaran yang bersumber dari APBD tidak berdampak pada masyarakat saat ini.

“Anggaran APBD kota itu sumbernya dari mana? Yang jelas sumber terbesarnya dari pajak masyarakat, tentunya harus dikembalikan ke masyarakat, bukan dikembalikan di kejaksaan. Bukan saya tidak setuju, tapi harus yang masuk akal (rasional),” tegasnya.

“Kita tahu instansi vertikal bukan hanya kejaksaan, tapi banyak di Maluku Utara. Itu semua pembiayaannya di dalam APBN, mulai dari gaji hingga infrastruktur. Bukan lagi kita harus mengandalkan di dalam APBD, makanya kalau ditolak oleh DPRD kota itu wajar dan layak,” tambah dosen Fakultas Ekonomi Unkhair itu.

Di sisi lain, ia mempertanyakan eksistensi Bappelitbangda Kota Ternate. Sebab ujung tombak pembangunan yang melekat pada OPD berada dalam pengawasannya.

“Tugas-tugas Bappelitbangda perlu dipertanyakan. Dia ibarat jantung pembangunan, karena semua kegiatan OPD dikontrol olehnya. Bagaimana dia merealisasi anggaran maupun program kerja pemerintah yang sudah tertuang dalam dokumen perencanaan, baik RPJMD maupun RKPD,” tuturnya.

Artinya, lanjut dia, seharusnya lebih mendahulukan yang sudah tertuang dalam dokumen perencanaan, bukan sebaliknya. Apalagi, dalam musrenbang kota, kecamatan hingga kelurahan tidak membahas pembangunan rumdis dan mes kejaksaan.

“Wajar kalau DPRD tolak atau tidak menyutujui pembangunan rumah dinas kejaksaan, makanya fungsi Bappelibangda ini harus dipertanyakan,” pungkasnya. (ano/tan)

Respon (1)

Komentar ditutup.