Jangan Jerumuskan SJW Yang Baik Ke Kubangan Politik Kotor

Soe Hok Gie pernah mengatakan bahwa bagi dia sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur kotor. Pandji Pragiwaksono mengibaratkan nyemplung ke politik itu seperti berenang di septic tank. Walaupun begitu keduanya tetap mendorong orang-orang baik terlibat di politik. Kalau orang-orang baik tidak mau terlibat di politik maka politik akan semakin kotor.

Saya sangat mendukung orang-orang baik terlibat di politik, tapi saya tidak akan menjerumuskan mereka ikut kontestasi politik. Meminta orang baik ikut kontestasi politik tapi membiarkan mereka membiayai sendiri ongkos politiknya, menurut saya itu bentuk penjerumusan. Kepada orang baik yang punya uang banyak pun saya tidak akan melakukan hal itu.

Sebagaimana disebut di bagian awal videonya, acara talk show tersebut membahas ‘Civil Society vs Partai Politik’. Civil Society merupakan istilah lain dari komponen Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Bentuk OMS bisa berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Kajian dan Riset Independen serta Organisasi Masyarakat (ORMAS) seperti NU, Muhammadiyah dan lain-lain.

Orang yang berkiprah di OMS sering disebut sebagai SJW (Social Justice Warrior). Sebelum terdistorsi maknanya, sebutan SJW merupakan julukan positif kepada orang yang peduli dan berjuang mewujudkan keadilan sosial. Akhir-akhir ini sebutan SJW lebih berkonotasi negatif. Dalam konteks diskursus politik, sebutan SJW sering dipake buat melabeli orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah tapi bukan bagian dari barisan oposisi. Saya akan tetap menganggap orang-orang yang berkiprah di OMS sebagai SJW yang baik. Tapi saya lebih nyaman dan merasa lebih menghargainya dengan menyebut mereka aktivis.  Menurut saya, para aktivis yang berkiprah di OMS-OMS yang seharusnya menguasai lembaga legislatif kita. Mereka sudah terbiasa bergelut dengan persoalan-persoalan rakyat.

Para aktivis yang berkiprah di LBH-LBH sudah terbiasa mengadvokasi persoalan-persoalan hukum rakyat kecil. Para aktivis yang berkiprah di lembaga kajian dan riset independen punya hasil-hasil penelitian yang bisa jadi acuan dalam membuat undang-undang dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Para aktivis yang berkiprah di LSM-LSM sudah terbiasa mengadvokasi persoalan-persoalan yang lebih spesifik. Ada yang konsennya di masalah hukum dan HAM. Ada yang mengurusi masalah konflik lahan (agraria). Ada yang melakukan pendampingan komunitas masyarkat adat. Dan beragam peran aktivis di berbagai macam LSM lainnya. Para aktivis di berbagai ORMAS sudah terbukti dalam pelayanan kepada masyarakat lewat amal-amal usaha yang dijalankannya.

Berdasarkan info gratis tersebut, 45% anggota DPR 2019 – 2024 berlatar belakang pebisnis. Sudah pasti mereka rawan konflik kepentingan. Sebagian lagi anggota DPR saat ini merupakan publik figur (selebritis) yang menang kontestasi politik bukan karena kapasitas dan integritas dirinya, tapi karena kepopulerannya.

Di video tersebut, seorang konsultan politik menyarankan (menantang) para aktivis masuk kekuasaan dengan ikut kontestasi politik. Menurut saya tantangan seperti itu merupakan bentuk penjerumusan. Tapi saya tidak menganggap jahat orang yang menyampaikan tantangan seperti itu.

Mereka yang terlibat di politik atau sekedar mengamatinya pasti paham bahwa politik di Indonesia sudah jadi industri. Saya tidak mau menganggap hal itu sebagai sesuatu yang negatif dan mendegradasi orang-orang yang mendapat keuntungan darinya. Saya tetap menemukan sisi positifnya. Kontestasi politik di Indonesia tidak melibatkan senjata yang berefek pertumpahan darah dan hilangnya nyawa. Memang ada kegaduhan dan polarisasi yang membelah masyarakat, tapi dalam batas tertentu masih bisa ditoleransi.

Menurut saya, kontestasi politik di Indonesia masih mungkin dimenangkan dengan modal otak dan kreatifitas. Memang uang menjadi salah satu faktor penting untuk menang kontestasi politik. Tapi di era populernya crowdfunding, pendanaan biaya politik tidak harus dari kandidatnya sendiri atau dari pemilik modal besar (bohir) yang sarat konflik kepentingan. Penggalangan dana biaya politik secara crowdfunding merupakan bagian dari kreatifitas memenangkan kontestasi politik. Mungkin belum ada contoh suksesnya di Indonesia. Tapi kita bisa belajar dari kesuksesan crowdfunding yang dilakukan dua politisi Amerika Serikat, yaitu Bernie Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez (AOC).

Kultur politik Amerika Serikat beda dengan Indonesia. Menurut saya crowdfunding untuk biaya politik di Indonesia tidak akan dapat dukungan masyarakat kalau dilakukan sendiri oleh politisi atau kandidat yang akan ikut kontestasi politik. Mereka tidak punya semacam landasan moral untuk dapat dukungan dana dari masyarakat. Karena itu crowdfunding untuk biaya politik di Indonesia harus dilakukan dan dikelola oleh lembaga independen yang terdiri dari orang-orang yang paham realitas politik dan mengerti bagaimana industri politik berlangsung. Lembaga tersebut juga punya kewenangan mencari dan menseleksi calon-calon kandidat yang akan diikutkan dalam kontestasi politik. Transparansi harus jadi nafas lembaga tersebut. Itulah kurang lebih gambaran mengenai ide gerakan politik #SinergiRakyat menurut saya.

Saya lumayan paham dengan realitas politik di Indonesia. Itulah yang jadi ketertarikan saya selama ini dalam hal politik. Saya tidak tertarik dengan perdebatan ideologi politik kiri, kanan atau tengah. Saya yakin orang baik dan orang brengsek ada di semua agama dan ideologi. Saya ingin ikut memperjuangkan orang-orang baik bisa terpilih dan menang di kontestasi politik. Sehingga mereka bisa mengisi jabatan-jabatan publik. Saya nggak terlalu peduli dengan agama dan ideologi mereka.

Di Amerika Serikat, Bernie Sanders belum berhasil jadi presiden, bahkan belum bisa sampai tahap menjadi CAPRES. Tapi AOC saat ini merupakan anggota legislatif yang sangat disegani. Saya punya cita-cita di 2024 nanti ada banyak anggota DPR kita yang cerdas dan kritis seperti AOC. Yang juga tidak terkooptasi oleh kepentingan partai politiknya.

Karena itu saya nggak terlalu peduli dengan PILPRES 2024, saya ingin memperjuangkan sesuatu di PILEG 2024. Saya sudah memikirkan cara memanfaatkan, mensiasati dan mengakali partai-partai politik yang ada supaya kita punya banyak anggota DPR berkualitas di 2024 nanti. Saya tidak bisa memperjuangkannya sendirian. Saya butuh dukungan dan keterlibatan banyak orang.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *